Kamis, 24 Juni 2010

PRINSIP PERCAKAPAN

1.Percakapan dan Wacana Percakapan
Percakapan sebagai bentuk pemakaian bahasa dapat disoroti dari berbagai disiplin. Filsafat, psikologi, sosiologi, dan linguistik merupakan empat disiplin ilmu yang dapat memberikan dasar bagi penelusuran ikhwal percakapan (Marcellino 1993: 59).
Percakapan merupakan suatu bentuk aktivitas kerjasama yang berupa interaksi komunikatif (Gumperz 1982: 94, Carrol 1980: 26). Istilah interkasi berarti hal saling melakukan aksi. Oleh karena istilah itu berkenaan dengan peristiwa komunikatif, saling melakukan aksi dalam percakapan itu dimaksudkan sebagai realisasi komunikasi. Di sissi lain interaksi itu melibatkan setidak-tidaknya dua pihak, yaitu interaksi diadis,
Aksi yang dapat dilakukan dua pihak atau lebih di dalam kehidupan ada banyak sekali. Jumlah itu dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu aksi verbal dan aksi nonverbal. Aksi verbal dapat dilakukan secara lisan dapat pula secara tulis. Sementara itu, yang nonverbal dapat berwujud aksi fisik, dari yang fisik kinesik sampai dengan aksi fisik yang membutuhkan tenaga banyak.
Carrol (1980:26) menegaskan bahwa interaksi komunikatif sebagai wujud percakapan itu merupakan aktivitas oral, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan ketrampilan menyimak dan berbicara.
Kaum pragmatis memandang bahwa percakapan merupakan serangkaian discrete acts (Marcellino 1993:60). Hal ini merupakan realisasi bahasa dalam penggunaannya sesuai dengan konteks sosialnya (Stubbs 1983:1). Tindak yang saling berlainan itu sejalan dengan konsep tindak tutur (speech acts). Percakapan merupakan aktivitas yang acak, tetapi merupakan aktivitas yang memergakan keteraturan.
Schiffrin (1989:271) berpendapat bahwa percekapan adalah suatu interaksi yang tertib dan merupakan wahana pembicara dan pendengar mengkoordinasi produksi bersama tentang makna dan aksi di dalam suatu konteks sesaat interaksi sosial secara sinambung.
Dari beberapa pendapat itu, dapatlah disimpulkan bahwa percakapan adalah interaksi verbal yang berlangsung secara tertib dan teratur dan melibatkanb duia pihak atau lebih guna mencapai tujuan tertentu sebagai wujud peristiwa komunikasi. Interaksi bahasa melibatkan unsur manusia dan unsur nonmanusia. Yakni penutur dan mitra tuturnya serta tujuan dan aspek-aspek fisik yang berkenaan dengan ruang dan waktu.
Wacana merupakan satuan bahasa yang paling lengkap unsurnya (Kridalaksana 1995:184). Edmonson (1981:4) berpendapat bahwa wacana adalah satu peristiwa yang tersruktur yang diwujudkan di dalam perilaku linguistik atau yang lainnya.
Longacre (1983) mengemukakan bahwa wacana merupakansuatu rentetan kalimat yang membentuk suatu pengertian yang serasi dan terpadu, baik dalam pengertian maupun dalam manifestasi fonetisnya.
Van Dijk (1977:3) memandang bahwa wacana merupakan konstruksi teoretis yang abstrak, yang kemudian terlaksana melalui teks. Menurutnya wacana berada pada tataran langue, yaitu konstruksi teoretis abstrak yang maknanya dikaji dalam kaitan dengan unsur-unsur lain di luar dirinya, sedangkan teks berada pada tataran parole yang berupa relisasi atau perwujudan bahasa atau teks merupakan relisasi wacana.
Stubbs (1983:15), Kridalaksana (1985:184), dan Alwi et al. (1993:471) mengungkapkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa di atas kalimat, baik lisan maupun tulis, yang tersusun secara berkesinambungan dan membentuk kepaduan. Wacana tidaklah merupakan urutan kalimat yang acak atau sequences of sentences,kesinambungan dan keteraturan rentetan kalimat dalam wacana itu terjadi karena adanya proposisi yang lain yaitu konsep kohesi.
Jadi kesimpulannya wacana adalah satuan kebahasaan yang unsurnya terlengkap yang tersusun dari kalimat atau kalimat-kalimat, baik lisan maupun tulis, yang membentuk suatu pengertian yang serasi dan terpadu, baik pengertian maupun dalam manifestasi fonetisnya.
Percakapan berarti interaksi verbal yang berlangsung secara tertib dan teratur dan melibatkan dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu sebagai wujud peristiwa komunikasi.
Wacana percakapan adalah wacana yang berupa interaksi verbal yang berlangsung secara tertib dan teratur dan melibatkan dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu sebagai wujud peristiwa komunikasi. Wacana jenis ini adalah wacana lisan yang bersifat spontan. Richards (1983:226) Wacana percakapan itu tidak direncanakan sebelumnya, tetapi diproduksi dalam waktu yang bersambung dengan saling bekerja sama di antara pelakunya.

Grice mengemukakan dua subteori yang pertama mengenai makna komunikasi dan yang kedua menyangkut penggunaan bahasa. Yang dimaksud dengan prinsip kerjasama ialah penggunaan tambahan keterangan yang tidak diujarkan oleh penuturnya itu tertangkap juga oleh pendengar sebagai mitra tutur, makna ekstra atau makna tambahan itu tidaklah timbul karena penerapan kaidah dan prinsip percakapan.
Grice mengemukakan prinsip kerjasama yang berbunyi “Buatlah sumbangan percakapan anda seperti yang diinginkan pada saat berbicara, berdasarkan tujuan percapakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang anda ikuti”. Kemudian dijabarkan dalam empat bidal, yaitu bidal kuantitas, bidal kualitas, bidal relevansi, dan bidal cara.
Kuantitas menyangkut jumlah kontribusi terhadap koherensi percakapan. Misal;
(1) Adik saya telah beristri
(2) Adik saya yang laki-laki telah beristri
Kualitas berisi nasihat untuk memberikan kontribusi yang benar dengan bukti-bukti tertentu (jangan mengatakan sesuatu yang anda tidak mempunyai buktinya. Contoh;
(1) Peringatan Pertempuran Lima Hari diselenggarakan di pelataran Tugu Muda.
(2) Ibu kota provinsi Jawa Tengah Semarang

Bidal relevansi menyarankan penutur untuk mengatakan apa-apa yang relevan. Mengikuti nasehat sama dengan mengikuti kerjasama yang menghasilkan tuturan yang kooperatif. Sebaliknya, tidak mengikuti nasehat sama dengan tidak menjalankan prinsip kerjasama sehingga menghasilkan tuturan yang tidak kooperatif. Kontribusi penutur yang relevan dengan masalah yang dibicarakan merupakan keharusan bagi penutur dalam mengikuti bidal relevansi ini. Tuturan B pada contoh (8) di bawah ini merupakan tuturan yang memberikan kontribusi yang relevan.

(8) A : Aduh, aku pusing lagi, Pak.
B : Bagaimana kalau kita ke dokter saja?

Apa yang dikatakan penutur B tersebut relevan dengan masalah yang dihadapi dalam pembicaraan. Tuturan A berisi keluhan bahwa pusingnya kambuh, tuturan itu menyebabkan B mengakpresi tuturan yang sesuai atau terkait dengan pokok persoalan yang diutarakan A.

Jika diubah menjadi seperti pada contoh (9) berikut ini tuturan B tidak emeberikan kontribusi yang relevan.

(9) A : Aduh, aku pusing lagi, Pak.
B :Sebentar kampaknya lagi dipinjam tetangga.

Devgan catatan bahwa yang dimaksud dengan kampak yang ada di dalam tuturan B itu ”alat pembelah kayu”, secara wajar tuturan B itu tidak mengikuti bidal relevansi dan itu berarti tidak kooperatif karena tidak ada hubungan antara pusing dengan kampak.

Bidal cara sebagai bagian prinsip kerjasama menyarankan penutur untuk menyarankan sesuatu dengan jelas. Ada empat subbidal yang merupakan jabatan dari bidal ini.
1) Subbidal 1 : Hindarkan ketidakjelasan dari bidal ini.
2) Subbidal 2 : Hindarkan ketaksaan!
3) Subbidal 3 : Singkat (Hindarkan uraian panjang lebar uang berlebihan!)
4) Subbidal 4 : Tertib-teratur.

Bidal keempat ini mengharuskan penutur berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, tidak berlebih-lebihan serta runtut. Berbicara dengan jelas berarti penutur hendaknya mengupayakan tuturan yang jelas, yang dapat didengar dan maksud yang jelas pula. Tuturan (10) berikut diujarkan secara wajar memenuhi kejelasan tuturan, baik dari segi ucapan maupun dari maksud tuturan.
(10) Bersihkan ruang tamu!

Penutur yang normal dapat menangkap tuturan (10) dengan jelas. Di dalam hal kedunguan, mungkin tuturan (10) menyebabkan penutur membebaskan semua benda yang ada di ruang tamu sehingga tidak jelas maksudnya.

Makna taksa tidak dikehendaki di dalam bidal ini karenanya harus dihindari. Contohnya pada tuturan (11) yang mengandung unsur ketaksaan dan melanggar bidal cara dan tidak kooperatif.
(11) Apakah arti kata bisa!

Ketaksaan terjadi karena ketidakjelasan kata bisa karena mengandung dua makna yaitu, ’dapat’ dan ’ racun’. Akan dapat menjadi tuturan kooperatif jika diubah menjadi tuturan (12) yaitu,
(12) Apakah arti nomina bisa itu?

Pembicaraan yang panjang lebar dan berlebihan harus dihindari karena tidak kooperatif. Contohnya seperti tuturan (13) berikut
(13) Bu, bolehkah saya membeli sebatang rokok gudang garam hijau.

Dalam situasi tidak resmi tuturan kooperatif adalah tuturan seperti tuturan (14), (15) dan (16).

(14) Bu, rokok.
(15) Rokok.
(16) Gudang garam hijau.

Ketertiban dan keterarutan juga termasuk dalam bidal cara ini. Tuturan (17) ini tudak kooperatif karena tidak tertib dan runtut.
(17) Di sana kami bermain pasir. Saya, ayah, dan adik pergi ke pantai. Hari itu hari minggu.

Agar menjadi tuturan yang kooperatif harus diubah menjadi seperti tuturan (18) berikut
(18) Hari itu hari minggu. Saya, ayah, dan adik pergi ke pantai. Di sana kami bermain pasir.

Subteori tentang penggunaan bahasa dengan prinsip kerjasamanya, ternyata mengundang berbagai kritik dari para pakar, antara lain Kenan (1974), Horn (1984), Sperber dan Wilson (1987), Levinson (1983), Leech (1983), Fraser (1990), Harnish (1991). Kritik menurut Gunarwan (1994:54), muncul karena adanya kelemahan pendapat Grice yang berupa tumpang tindih diantara rumusan bidalnya.

Kenan (1974) mengetengahkan kritik atas prinsip kerjasam Grice itu dari sudut pandang keuniversalan bahasa. Horn (1984 dalam fasold 1990:143) berpendapat bahwa bidal kualitas harys dipertahankan sebagai hal khusus. Sperber dan Wilson (1987) bahkan memeras bidal-bidal itu menjadi satu saja yaitu, bidal relevansi.

Levinson (1983:111) juga melontarkan kritik atas prinsip kerjasam Grice, berupa ketidaksetujuan bahwa bidal relevansi mengakibatkan timbulnya implikatur yang melebihi apa yang diungkapkan penutur. Leech (1983:80) memberikan kritik bahwa bidal-bidal merupakan kendala berbahasa.Kritik Fasold (1990:143-144) sejalan dengan pemikiran yang diungkapkan oleh Horn (1984), Sperber dan Wilson (1987) dan Levison (1984). Satu lagi prinsip Grice dikemukakan oleh Harnish (1991:340) yang berpendapat bahwa sering terjadi benturan antara bidal kuantitas dan kualitas.

4.4 Teori dan Prinsip Kesantunan
Berbeda dengan prinsip kerjasama, konsep kesantunan dikemukakan oleh banyak ahli. Mereka memiliki pendapat yang berbeda-beda, ada yang dirumuskan dengan kaidah dan ada pula yang diformulasikan dalam bentuk strategi. Prinsip kesantunan berkaitan denganaturan yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur (Grice 1991:308). Para ahli yang telah mengemukakan konsep kesantunan antara lain Lakoff (1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1983).
Pandangan Lakoff dan Leech (1983) tentang konsep kesantunan dirumuskan di dalam prinsip kesantunan. Sedangkan Fraser (1978) dan Brown dan Levinson (1978) merumuskan kesantunan di dalam teori kesantunan. Prinsip kesantunan Lakoff berisi tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan itu santun. Ketiga kaidah itu adalah formalitas, ketidaktegasan, dan kesamaan atau kesekawanan.
Kaidah formalitas berarti ’jangan memaksa atau angkuh’. Konsekuesinya adalah tuturan menjadi tidak santun, seperti tuturan (19) dn (20) berikut ini
(19) Bersihkan lantai itu sekarang juga!
(20) Sudahlah, kamu tidak akan dapat menyelesaikan masalah ini!

Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya bertutur sedemikian rupa sehingga mitra tuturnya mempunyai pilihan. Tuturan (21) santun karena memberikan pilihan kepada mitra tuturnya sedangkan tuturan (22) tidak santun karena tidak meberikan pilihan.
(21) Jika ada waktu atau tidak lelah, perbaiki sepeda saya!
(22) Perbaiki sepeda saya!

Kaidah ketiga adalah kesamaan atau kesekawanan, dalam hal ini penitir hendaknya bertingkah seolah-olah mitra tuturnya itu sama. Tuturan (23) santun karena membuat mitra tuturnya senang. Sedangkan tuturan (24) membuat mitra tuturnya menjadi tidak senang.
(23) Halus sekali hatimu seperti kulitku.
(24) Mengapa nilai TOEFL-mu tetap jelek?


Bidal keperkenaan adalah petunjuk untuk meminimalkan penjelekan terhadap pihak lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain. Bidal keperkenaan ini adalah tuturan ekspresif dan asertif (Leech, 1983 : 132).
Contoh :
1. A: Mari Pak, seadanya!
B: Terlalu banyak, sampai-sampai saya susah memilihnya.
2. A: Mari Pak, seadanya!
B: Ya, segini saja nanti kan habis semua.
Tuturan 1 (B) mematuhi bidal perkenaan karena penutur meminimalkan penjelekan terhadap pihak lain dan memaksimalkan pujian terhadap pihak lain itu. Sementara itu, tuturan 2 (B) melanggar bidal ini karena meminimalkan penjelekan kepada diri sendiri dan memaksimalkan pujian kepada diri sendiri. Dengan penjelasan itu, tingkat kesantunan tuturan 1 (B) lebih tinggi jika dibandingkan dengan tuturan 2 (B).
Nasihat bahwa penutur hendaknya meminimalkan pujian kepada diri sendiri merupakan isi bidal kerendahhatian bukan merendahdirikan penutur agar tidak terkesan sombong. Tuturan dibawah ini merupakan tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan bidal kerendahhatian.
1. Saya ini anak kemarin, Pak.
2. Maaf, saya ini orang kampung.
3. Sulit bagi saya untuk dapat meniru kehebatan Bapak.
Hal itu demikian karena tuturan-tuturan itu memaksimalkan penjelekan kepada diri sendiri dan meminimalkan pujian kepada diri sendiri sehingga tuturan itu sesuai dan merupakan tuturan yang sopan.
Sedangkan contoh tuturan di bawah ini merupakan tuturan yang melanggar prinsip kesantunan bidal kerendahhatian.
1. Saya ini sudah makan garam.
2. Saya bisa lebih dari kehebatan Bapak.
3. Hanya saya yang bisa seperti itu.
Tuturan di atas melanggar prinsip kesantunan karena tidak sejalan dengan bidal kerendahhatian. Tuturan itu memaksimalkan pujian kepada diri sendiri. Oleh kerena itu, tuturan itu merupakan tuturan yang tidak santun.
Bidal kesetujuan adalah bidal di dalam prinsip kesantunan yang memberikan nasihat untuk meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan pihak lain. Tuturan asertif merupakan jenis tuturan yang lazim mengungkapkan bidal kesetujuan ini (Leech, 1983).
Contoh :
1. A: Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
B: Boleh.
2. A: Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
B: Saya setuju sekali.
Tuturan 1 (B) dan tuturan 2 (B) merupakan tuturan yang meminimalkan ketidaksetujuan dan memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri sebagai penutur dengan pihak lain sebagai mitra tutur. Dibandingkan dengan Tuturan 1 (B), tuturan 2 (B) lebih memaksimalkan kesetujuan karena itu derajat kesopananya lebih tinggi tuturan 2 (B) daripada tuturan 1 (B).
Oleh karena tidak meminimalkan ketidaksetujuan dan tidak memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri sebagai penutur dan pihak lain sebagai mitra tutur. Tuturan dibawah ini merupakan tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan.
1. A: Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
B: Saya tidak setuju.
2. A: Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
B: Jangan, sama sekali saya tidak setuju.
Kedua tuturan B itu justru memaksimalkan ketidaksetujuan dan meminimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain. Dibandingkan tuturan 1 (B), tingkat pelanggaran terhadap prinsip kesantunan tuturan 2 (B) lebih tinggi.
Penutur hendaknya meminimalkan antipati antara diri sendiri dan pihak lain dan memaksimalkan simpati antara diri sendiri dan pihak lain merupakan nasihat bidal kesimpatian. Leech (1983 : 132) berpendapat bahwa jenis tuturan yamg lazim mengungkapkan kesimpatian adalah tuturan asertif. Berikut merupakan tuturan yang sejalan dengan bidal kesimpatian.
1. Saya ikut berduka cita atas meninggalnya Ibunda.
2. Saya benar-benar ikut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Ibunda tercinta.
Dikatakan sejalan karena tuturan keduanya meminimalkan antipati dan memaksimalkan simpati antara penutur dan mitra tuturnya. Sehingga kedua tuturan tersebut bisa dikatakan tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan bidal kesimpatian. Dan jika dibandingkan, tuturan 2 lebih tinggi tingkat kesantunannya daripada tuturan 1. Sebaliknya, tuturan dibawah ini merupakan tuturan yang melanggar prinsip kesantunan bidal kesimpatian.

1. A: Pak, Ibu saya meninggal.
B: Semua orang akan meninggal.
2. A: Pak, Ibu saya meninggal.
B: Tumben.
Tuturan di atasmelanggar bidal kesimpatian karena tidak meminimalkan antipati dan tidak memaksimalkan simpati antara diri sendiri dan pihak lain, bahkan sebaliknya. Kedua tuturan tersebut bisa dikatakan tuturan yang tidak atau kurang santun.
Skala Kesantunan
Pengukuran kesantunan tuturan itu didasarkan pada suatu skala, yaitu rentangan tingkatan untuk menentukan sesuatu. Skala kesantunan berarti rentangan tingkatan untuk menentukan kesantunan suatu tuturan. Semakin tinggi tingkatan di dalam skala kesantunan maka semakin santunlah suatu tuturan, sebaliknya. Ada tiga macam skala yang dapat digunakan untuk mengukur atau menilai kesantunan suatu tuturan berkenaan dengan bidal ketimbangrasaan prinsip kesantunan (Leech, 1983).
1. Skala Biaya-Keuntungan
Skala biaya-keuntungan atau skala untung-rugi berupa rentangan tingkatan untuk menghitung biaya-keuntungan di dalam melakukan suatu tindakan berkenaan dengan penutur dan mitra tuturnya. Makna skala biaya-keuntungan itu adalah semakin memberikan beban biaya (sosial kepada mitra tutur semakin kurang santunlah tuturan itu. Sebaliknya semakin memberikan keuntungan kepada mitra tutur, semakin santunlah tuturan itu. Tuturan yang memberi keuntungan kepada penutur merupakan tuturan yang kurang santun, sementara tuturan yang membebani biaya (sosial) yang besar kepada penutur merupakan tuturan yang santun.
Contoh skala biaya-keuntungan untuk tuturan yang bermodus imperatif yang dituturkan dengan intonasi dan nada bertutur yang sama.
a. Bersihkan kamar mandi saya! biaya bagi mitra tutur kurang santun
b. Kupas mangga itu!
c. Letakkan buku ini di atas meja!
d. Santai sajalah!
e. Dengarkanlah lagu kesukaanmu!
f. Minum tehnya! keuntungan bagi mitra tutur lebih santun
Berdasarkan contoh tuturan diatas, tuturan (a) merupakan tuturan yang paling kurang santun. Karena tuturan itu memberikan keuntungan kepada penutur dan membebani mitra tuturnya biaya. Biaya yang dimaksud berupa tenaga untuk melakukan tindakan membersihkan kamar mandi dan biaya sosial yang berupa turunnya harga diri mitra tuturnya. Sebaliknya tuturan (f) adalah tuturan yang paling santun diantara keenam tuturan itu karena tuturan itu memberikan keuntungan yang lebih kepada mitra tuturnya daripada suturan yang lain. Tuturan itu bahkan tidak membebani mitra tuturnya biaya.


2.Skala Keopsionalan
Skala keopsionalan adalah rentangan pilihan untuk menghitung jumlah pilihan tindakan bagi mitra tutur. Makna skala keopsionalan itu adalah semakin memberikan banyak pilihan kepada mitra tutur maka semakin santunlah tuturan itu, begitu juga sebaliknya.
Contoh skala keopsionalan untuk tuturan yang bermodus imperatif yang dituturkan dengan intonasi dan nada bertutur yang sama.
a. Pindahkan kotak ini! Lebih sedikit pilihan kurang santun
b. Kalau tidak lelah, pindahkan kotak ini!
c. Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini!
d. Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini,
itu kalau kamu mau!
e. Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini,
itu kalau kamu mau dan tidak berkeberatan! Lebih banyak pilihan lebih santun
Dari contoh tuturan diatas, tuturan (a) merupakan tuturan yang paling kurang santun. Karena tuturan itu tidak memberikan pilihan tindakan kepada mitra tuturnya. Tuturan (c) lebih santun jira dibandingkan dengan tuturan (b) karena jumlah pilihan didalam tuturan (c) lebih banyak daripada jumlah pilhan didalam tuturan (b). Sementara tuturan (e) adalah tuturan yang paling santun diantara kelima tuturan itu karena tuturan itu memberikan pilihan didalam jumlah yang paling banyak diantara tuturan (a), (b), (c), dan (d).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar